Langkah Terakhir di Tangga Klub Teater
Langkah Terakhir di Tangga Klub Teater
---
BAB 1 – PANGGILAN PANGGUNG
Hari pertama latihan drama sekolah. Liona berdiri di tengah panggung aula SMA Widya Krida, mengucapkan dialog pembuka naskah “Pelangi Tanpa Musim”. Ia baru saja diterima di klub teater dan mengejutkan semua orang dengan audisi luar biasa.
Tepuk tangan menggema dari pelatih teater dan siswa-siswa lainnya.
“Kamu punya potensi besar,” ujar Kak Sinta, ketua klub teater.
“Tapi kamu juga harus hati-hati... tempat ini menyimpan banyak cerita.”
Liona mengernyit. “Maksudnya?”
Sinta tersenyum samar. “Nanti juga kamu tahu.”
---
BAB 2 – TANGGA YANG TAK TERLIHAT
Tangga belakang panggung bukan tempat yang sering dilewati. Gelap, sempit, dan dingin. Namun saat Liona mencoba menghafal posisi panggung, ia memutuskan untuk melihat-lihat ke sana.
Saat menaiki anak tangga ke-6, ia merasa langkahnya kosong—tiba-tiba seperti ditarik ke belakang.
Tapi saat ia menoleh, tak ada siapa pun.
Di lantai, ia menemukan bros kuno berwarna perak. Di belakangnya terukir huruf: “K”
---
BAB 3 – NASKAH YANG BERUBAH
Hari berikutnya, Liona datang lebih pagi untuk berlatih sendiri. Ia membuka naskah yang diberikan Kak Sinta.
Namun halaman ke-22 terlihat aneh. Dialog tokoh utama Nayla berubah:
> “Jika aku jatuh hari ini, panggung ini akan menuliskan ulang cerita yang mereka sembunyikan.”
Liona yakin—itu bukan versi yang ia baca kemarin.
Dan anehnya... tulisan itu bukan cetakan, melainkan tulisan tangan. Hurufnya rapi, klasik, dan sedikit miring.
---
BAB 4 – GADIS DALAM MIMPI
Malam itu, Liona bermimpi.
Ia berada di panggung yang sama, sendirian. Lampu sorot menyala terang. Dari balik tirai, muncul seorang gadis dengan seragam sekolah lama, rambut panjang, dan mata sendu.
Gadis itu menatapnya dan berkata:
“Jangan ulangi kesalahanku. Tolong selesaikan pertunjukannya.”
Liona terbangun dengan nafas memburu.
Dan ia mulai mencari tahu: siapa gadis dalam mimpinya?
---
BAB 5 – NAMA YANG TERLUPAKAN
Dari perpustakaan, ia menemukan arsip kegiatan klub teater 5 tahun lalu. Nama terakhir dalam daftar aktor: Karina Putri Rahmadani. Pemeran utama saat itu. Pementasan batal karena... kecelakaan.
Kecelakaan?
Liona bertanya pada penjaga sekolah tua, Pak Darto.
“Kecelakaan? Hm... bukan kecelakaan, Nduk. Itu... pengkhianatan.”
---
BAB 6 – KEBENARAN DI BALIK PANGGUNG
Karina ternyata adalah ketua teater yang berbakat, tetapi terlibat konflik dengan seseorang di klub. Ada rumor bahwa ia akan diboikot, perannya diganti diam-diam.
Malam latihan terakhir, ia jatuh dari tangga belakang. Kata orang, terpeleset. Tapi Pak Darto tahu, ada sepatu sobek di anak tangga—disayat.
Kasus itu ditutup. Dinyatakan “tidak cukup bukti.”
---
BAB 7 – TANDA-TANDA
Sejak saat itu, banyak kejadian aneh: suara orang menangis di ruang kostum, lampu sorot jatuh tanpa alasan, naskah yang berubah.
Dan selalu terjadi... saat pentas besar akan kembali dilakukan.
Kali ini, korbannya adalah Liona.
Setiap malam ia bermimpi lebih jelas: Karina berdiri di tangga ke-6, tersenyum, lalu terjatuh.
Liona memutuskan: Ia tidak akan lari.
---
BAB 8 – PEMENTASAN TERAKHIR
Malam pementasan tiba.
Satu jam sebelum tampil, Liona naik ke panggung, berjalan ke belakang. Ia berdiri di tangga ke-6. Menggenggam bros milik Karina.
Ia memejamkan mata.
“Karina... kalau kamu masih di sini. Aku akan bantu selesaikan ceritamu.”
Lampu panggung redup. Suara musik menggema. Dan pertunjukan dimulai.
---
BAB 9 – PENGAKUAN
Selama pertunjukan, semua berjalan sempurna. Tapi di adegan klimaks, saat Nayla berdiri di tepi panggung, lampu sorot jatuh—nyaris mengenai Liona.
Semua panik. Tapi Liona tetap tenang. Ia melanjutkan adegan. Ia tahu—itu bukan kebetulan.
Setelah pertunjukan, Liona berdiri di depan penonton. Ia membawa bros perak dan menunjukkan halaman naskah yang berubah.
“Ini milik Karina Putri. Dan malam ini, ceritanya akhirnya tersampaikan.”
---
EPILOG – PANGGUNG YANG SELESAI
Pentas besar berakhir. Semua terdiam. Tidak ada tepuk tangan. Tapi juga tidak ada lagi bisikan dari balik tirai.
Malam itu, Liona bermimpi untuk terakhir kalinya. Karina tersenyum, memeluknya, lalu menghilang dalam cahaya panggung.
Tangga belakang itu kini ditutup permanen. Tapi bros Karina disimpan di ruang kostum, dalam kotak kaca.
Sebagai tanda.
Bahwa panggung tak pernah benar-benar melupakan mereka yang jatuh sebelum tirai ditutup.
---
Comments
Post a Comment