Cinta Tanpa Nama di Balik Surat Anonim

 Cinta Tanpa Nama di Balik Surat Anonim




---

BAB 1 – SURAT DI LACI MEJA

Hari Senin pagi. Bel istirahat pertama berdentang di SMA Pramudya Santika. Seperti biasa, Nadira membuka laci mejanya. Dan seperti tiga bulan terakhir, ada secarik kertas dilipat rapi di dalamnya.

> “Hari ini kamu pakai jilbab warna biru tua ya?
Cocok.
Seperti langit pagi yang bikin tenang.
–A”



Nadira tersenyum kecil. Siapa pun "A", dia memperhatikan dengan detail. Bukan dengan cara yang menyeramkan—tapi manis, tulus, dan jujur. Surat-surat itu selalu membuat hari Senin yang menyebalkan jadi terasa berbeda.

Ia tidak tahu siapa A. Tapi satu hal pasti: ia mulai... menantikan surat itu setiap minggu.


---

BAB 2 – PENCARIAN TANPA PETUNJUK

Sahabat Nadira, Reina, mencoba menebak-nebak.

“Apa jangan-jangan si Rangga? Dia duduk di belakang kamu kan?”

Nadira menggeleng. “Rangga baru pindah dari sekolah lain dua minggu lalu. Surat ini udah dari bulan lalu.”

“Trus siapa dong? Siswa kelas sebelah? Kakak OSIS?”

Nadira hanya memandangi surat itu lagi. Di bagian pojok bawah, selalu ada satu huruf kecil: A.

A untuk apa? Andi? Arga? Atau... Anonymous?


---

BAB 3 – HARI TANPA SURAT

Senin berikutnya, Nadira membuka laci seperti biasa.

Kosong.

Tak ada surat.

Ia merasa seperti seseorang menarik napasnya tanpa izin. Meja itu, yang biasanya penuh kejutan manis, kini terasa dingin dan asing.

"Kenapa, Dir?" tanya Reina.

"Enggak ada suratnya."

Reina menoleh. "Mungkin dia lagi sakit?"

Atau... sudah bosan?


---

BAB 4 – SURAT PALSU

Reina mencoba membuat Nadira tersenyum dengan cara iseng. Ia menaruh surat buatan sendiri di meja Nadira.

Tapi Nadira tahu. Gaya tulisan, kalimat, bahkan aroma kertasnya berbeda.

"A bukan kamu, Rein. Dan aku rasa... aku pengin tahu siapa dia."


---

BAB 5 – JEJAK DI PERPUSTAKAAN

Petunjuk muncul tanpa sengaja. Di perpustakaan, Nadira meminjam novel yang sering disinggung di surat-surat itu: Laut Bercerita.

Saat membuka halaman ke-47, ia menemukan coretan kecil:

> “Karakter Biru di sini kayak kamu, Nadira.
Sama-sama diam, tapi dalam.
–A”



Nadira terkejut. Ia mengecek log peminjam buku sebelumnya.

Hanya satu nama tercantum: Alvaro Putra Wicaksono.


---

BAB 6 – ALVARO

Alvaro adalah siswa kelas 12 IPA 2. Pendiam, sering di perpustakaan, dan dikenal pintar dalam lomba debat. Ia bukan tipe populer yang disukai banyak cewek. Tapi ia punya aura tenang yang... menenangkan.

Nadira mulai memperhatikan geraknya.

Dan benar saja—setiap Senin pagi, sebelum kelas dimulai, Alvaro terlihat melintasi depan kelasnya... lalu menghilang cepat.


---

BAB 7 – KEHILANGAN

Senin ketiga berlalu. Tak ada surat.

Nadira memberanikan diri menulis surat balasan. Ia menaruhnya di rak buku perpustakaan, diselipkan di halaman 47 Laut Bercerita, dengan tulisan:

> “Kalau kamu A, aku harap kamu kembali menulis.
Karena aku bukan cuma suka suratmu.
Aku mulai suka... kamu.”




---

BAB 8 – PERTEMUAN YANG TERTUNDA

Tiga hari kemudian, sepucuk surat muncul di dalam novel itu.

> “Nadira,
Maaf aku berhenti menulis.
Aku harus pindah minggu depan.
Ayahku dipindah tugas ke luar negeri.
Aku takut kalau aku lanjut menulis, aku makin sulit pergi.
Tapi aku mau kamu tahu satu hal:
Surat-surat itu bukan main-main.
–A”



Nadira membaca surat itu di tangga perpustakaan. Air matanya jatuh.
Terlambat.


---

BAB 9 – PERPISAHAN DI HALAMAN SEKOLAH

Hari Jumat. Suasana sekolah ramai karena acara perpisahan kelas 12.

Nadira berdiri di pinggir lapangan. Alvaro terlihat di antara kerumunan, mengenakan seragam putih penuh coretan.

Ia berjalan pelan ke arah Nadira. Di tangannya, sepucuk surat terakhir.

> “Kalau kamu baca ini sebelum aku pergi, aku senang.
Tapi kalau nggak, nggak apa-apa.
Karena di surat ini, aku cuma mau bilang...
Aku jatuh cinta padamu.
–Alvaro”



Nadira menahan napas.

“Alvaro...”

Cowok itu menatapnya. Senyum kecil di wajahnya.

“Maaf aku nggak berani bilang langsung dari awal.”

Nadira tersenyum dengan mata basah.

“Setidaknya sekarang aku tahu... bahwa ‘A’ bukan cuma huruf.”


---

EPILOG – SURAT TERAKHIR

Minggu berikutnya, laci meja Nadira kosong.

Tapi ia tidak sedih.

Karena kini, ia menyimpan satu kotak kecil berisi dua puluh surat dengan huruf "A".

Dan satu surat paling berharga, bertuliskan lengkap:

> “Untuk Nadira—
Bintang kecil yang kutemukan di hari biasa.
Terima kasih sudah membuat hari-hariku penuh makna.
Kalau kita bertemu lagi, aku janji: aku akan panggil kamu, bukan lewat surat. Tapi langsung di hadapanmu.
–Alvaro”




---

Comments

Popular posts from this blog

Aku yang Terperangkap dalam 5 Versi Diriku Sendiri

Surat dari Diriku di Masa Depan

Taman yang Tak Pernah Ada dalam Denah Sekolah